Sabtu, Juni 04, 2011

Tentang Kakak Saya

My Sister’s Keeper merupakan sebuah film yang diangkat dari novel berjudul sama buah karya Jodi Piscoult. Sebelumnya saya sudah membaca bukunya dan hari ini saya baru menonton filmnya –padahal sudah cukup lama saya memiliki DVD-nya, sialnya kualitasnya buruk sekali, #yeahbajakan.
Tidak jauh berbeda dari bukunya, film ini juga berhasil menyentuh saya.
Jujur, saya menangis. Ya. Saya adalah orang paling cengeng sejagad raya tiap kali mendapat suguhan film drama menyayat hati macam film ini. Saya gak pernah malu untuk mengakui bahwa saya secengeng itu. Sisi emosional saya memang begitu sensitif. Dan itulah yang membuat saya beberapa kali menghapus air mata karena tersentuh dengan perjalanan keluarga Fitzgerald di film ini.
Keluarga. Pengorbanan. Cinta. Kebersamaan.

Buat saya, mengangkat konflik keluarga adalah cara yang paling ampuh untuk memancing sisi emosional penonton. Konflik keluarga lebih dapat mengikat penonton. Konflik keluarga sedikit banyak lebih cepat membuat penonton merasa terikat dan juga tersentil, atau mungkin juga berkaca lewat jalinan cerita yang sedang ditonton.

Dari film My Sister’s Keeper, ada satu hal besar yang menyentil saya : apakah kakak saya merasakan apa yang dirasakan Jesse – si sulung di film ini? Apa kakak saya juga merasa tersingkir karena kehadiran saya?
Saya anak bungsu.
Kakak saya lelaki, beda usia kami 5 tahun. Kepribadian kami berbeda. Semua tentang kami berbeda. Sejak kecil, kami tidak pernah sama.

Saya dilahirkan dalam kondisi prematur saat kondisi kandungan Ibu baru menginjak bulan ketujuh. Mengingat saya tidak berasal dari keluarga kaya, dua bulan awal saya ada di dunia tidak berlangsung di rumah sakit. Saya dirawat seadanya. Menurut cerita, selama 24 jam tubuh saya harus didampingi botol 1 liter berisi air panas agar tubuh saya tetap hangat, agar tubuh saya tidak membiru, agar saya bisa tetap hidup. Kenapa gak dibawa ke rumah sakit dan dirawat memakai incubator saja sih? Hmm mungkin Ayah dan Ibu saya sebegitu tidak punya uang hingga saya harus dirawat dengan cara sederhana dan merepotkan itu. Menurut Ibu, ketika saya lahir, saya tidak menangis. Saya baru menangis saat usia saya menginjak bulan kedua. Ibu tidak berani menggendong saya karena kondisi saya begitu ringkih –saya terlahir dengan berat cuma 1.8 kg dengan kondisi tubuh dimana katanya isi perut saya masih sedikit terlihat #inianehbangetsumpah.
Intinya, sejak kecil saya sudah merepotkan.

Usia bertambah, saya menjelma menjadi anak kecil bandel. Saya sangat atraktif. Saya sangat galak –kabarnya hobi saya adalah menggigit kakak saya-. Kakak saya membenci saya karena saya galak. Saya selalu mau dituruti. Sebagai anak bungsu, ego saya besar. Semua orang harus mengalah. Saya harus menjadi nomer satu. Sayalah pemenangnya. Dan terbukti, dulu saya memang sukses mengambil alih perhatian keluarga.
Di sekolah saya berprestasi. Di luar sekolah saya punya banyak teman. Di berbagai kegiatan saya cukup berprestasi. Saya anak kecil gemilang. Bagaimana dengan kakak saya? Ia seperti tidak terlihat. Kegemilangan saya meraih prestasi di tahun pertama saya menjadi murid sekolah dasar tidak sejalan dengan kakak saya yang harus les privat karena raport-nya kebakaran. Setelahnya, kondisi itu bertahan. Saya mengukir prestasi. Kakak saya semakin menghilang.

Lulus SD, Kakak saya memilih untuk tinggal bersama Nenek.
Saya tidak tau apa alasannya –saat itu saya bahkan memilih untuk tidak perduli. Saya senang karena hanya tinggal sendirian. Saya senang karena tidak perlu berbagi kamar dan berebut program tv favorit. Saya senang karena hanya saya yang akan disayang Ibu. Saya secetek itu. Fikiran saya saat kelas 2 SD serendah itu.
Dan jauhlah hubungan saya dengan Kakak.

Ia menikmati hidupnya di rumah nenek. Dan saya menikmati hidup saya sendiri. Hingga kini kakak saya masih tinggal di sana. Dan hingga kini saya masih tinggal di sini.
Saya tidak pernah suka jika saya disebut ‘mengambil’ apa yang seharusnya menjadi hak kakak saya.
Saya tidak pernah menyukai pendapat orang yang menyebut saya ‘serakah’.
Saya sadar saya sombong. Saya pernah dengan sesumbar bilang bahwa saya lebih baik dari kakak saya. Tapi nyatanya dengan saya berkata demikian, saya tidaklah begitu.
Dari segi fisik saya jauh lebih tinggi, sementara kakak saya lebih pendek.
Saya telah bekerja, sementara kakak saya belum.
Saya memiliki banyak teman, sementara kakak saya lebih suka berdiam diri di rumah.
Saya percaya diri, kakak saya minder.

Demi Tuhan, saya tidak pernah bermaksud untuk berada di atasnya. Dan jujur, saya tidak pernah suka jika saudara, teman dan siapapun membandingkan saya dengan kakak saya.
Kami memang berbeda.

Namun apakah perbedaan itu harus diperuncing dengan spekulasi tidak penting? Saya memang tidak dekat dengannya. Kami jarang berbicara. Hanya beberapa kali kami sempat berdiskusi singkat. Saya tidak pernah berencana untuk ‘eksis’ sendiri dan membuatnya ‘tenggelam’. Saya juga ingin ia maju. Saya ingin kami sukses bersama dan menjadi kebanggaan Ayah – Ibu bersama-sama.
Saya tidak mau kakak saya merasa seperti Jesse. Saya tidak mau ia merasa terbuang. Saya tidak mau orang-orang (walaupun dengan nada bercanda) menganggap dirinya ada di bawah saya. Kami bersaudara. Darah yang ada di tubuh kami sama. Lantas, mengapa kami harus dipandang berbeda?
Mungkin memang sedikit terlambat.

Tapi saya yakin, semuanya masih bisa diperbaiki. Jika memang kakak saya merasa seperti Jesse, saya akan mencoba bertindak sebagai Anna yang selalu bisa mengisi dan membuat tali persaudaraan di keluarga kecil ini berjalan baik.

Ia kakak saya satu-satunya.
Meski tidak pernah menyatakan secara langsung, saya pun menyayanginya.
Untukmu …

Tidak ada komentar:

Entri Populer