Jumat, Juni 17, 2011

Kepentingan Politik Menghanguskan Hukum


Didalam kehidupan bernegara, terkadang dipengaruhi beberapa hal yang menghambat proses demokrasi, seperti yang pernah dialami bangsa ini ketika masa Orde Baru berkuasa.

Sarana yang bersifat membahayakan kekuasaan pemerintah saat itu dibatasi, saluran informasi ditentukan oleh kebijakan kekuasaan yang memerintah saat itu. Informasi hanya bersifat menguntungkan kekuasaan tanpa memperdulikan keadaan masyarakat yang sebenarnya.

Terkesan masyarakat tak memiliki hak untuk mengeluarkan pendapat, masyarakat hanya boleh mengatakan setuju kepada pemerintah saat itu tanpa ada bantahan ataupun penolakan. Namun, bergulirnya angin reformasi ditanah air ini membuat segala sesuatunya berbeda. Kebebasan berpendapat mulai hidup di negeri ini. Sarana untuk mendapatkan informasi pun relatif lebih mudah dari masa Orde Baru.

Dampak dari kekuasaan Orde Baru yang begitu besar terhadap sendi-sendi kehidupan bangsa adalah pelangaran hukum. Hukum dijadikan alat melegalkan kekuasaan. Siapapun yang dianggap membahayakan kekuasaan di bumi hanguskan.

Campur tangan politik dalam proses hukum telah merusak tatanan demokrasi saat itu. Berbagai kasus pelanggaran HAM kerap terjadi bagaikan sesuatu yang dilegalkan.

Ketika refomasi berhembus justru elit politik berusaha mengintervensi hukum demi kepentingan politik. Kedaulatan rakyat sebagai mainstream (aspek penting) dalam menegakkan reformasi merupakan jiwa yang menyemangati lahirnya era baru menuju pemerintahan yang bersih.

Tiupan angin reformasi yang berhembus dinegeri ini mambawa perubahan besar yang sangat signifikan dibidang politik. Pemerintahan dibangun atas kekuataan rakyat yang bertujuan untuk mensejahterakaan rakyat. Namun saat ini terkesan cita-cita reformasi sudah pudar, jauh dari tujuan yang telah disepakati.

Partai politik menciptakan mala petaka bagi rakyat. Ada satu tesis menarik, bahwa saat politik menjadi panglima, maka korupsi akan merajalela. Tesis itu terbukti saat ini, dimana korupsi terjadi hampir di semua lini kenegaraan, baik eksekutif, legislatif dan yudikatif.

Idealnya di negara demokrasi, hukumlah yang harusnya menjadi panglima, sehingga hukum bisa menjadi “pemandu” bagi jalannya politik. Namun hal itu belum terwujud di sini. Lalu apa yang bisa dilakukan untuk mengakhiri era korupsi dan politik panglima?

Penyelewengan kekuasaan

Tumbangnya kekuasaan rezim Orde baru membawa dampak perubahan menonjol ditandai dengan adanya tuntutan tata kelola kepemerintahan yang baik (Good Govermance) yang mensyaratkan ditetapkannya prinsip-prinsip akuntabilitas, transparansi, dan partisipasi masyarakat dalam setiap proses kebijakan publik.

Saat ini mereka yang seharusnya menjadi panutan rakyat justru menjadi hujatan rakyat. Dari penyelengara negara tingkat pusat hingga daerah, penegak hukum baik dikepolisian maupun dipengadilan, sampai politisi yang tergabung dalam wakli rakyat dinegeri ini berbondong-bondong berurusan dengan hukum. Anehnya tak ada kejerahan bagi yang lain untuk mengakhiri perbuatan yang tak bermoral ini.

Mengutip survei yang dilakukan Transparency International Indonesia (TII) mendapatkan hasil, rakyat Indonesia berpandangan bahwa parpol dan DPR merupakan lembaga yang sangat korup. Maka wajar bila parpol merupakan organisasi yang paling bertanggung jawab atas perilaku koruptif.

Tingkah laku elit politik saat ini menunjukan kebodohan yang ditunjukan dirinya kepada rakyat, kita masih teringat kasus dimenangkanya Anggodo oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terhadap dua wakil ketua komisi pemeberantasan korupsi yakni Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah.

Anggodo merupakan tersangka kasus penyuapan dan menghalangi penyelidikan kasus korupsi oleh KPK yang melibatkan saudaranya.

Berdasarkan laporan yang disampaikan Indonesian Corruption Watch (ICW) mengenai berbagai kasus yang berhubungan dengan anggota dewan, Kasus ini antara lain masalah pajak yang melibatkan Ketua Umum Golkar ARB, dugan kasus Inkud oleh Ketua Fraksi Golkar SN yang juga bersangkut paut dengan.

Ketua P ansus IM, kasus yang melibatkan politisi dari PDIP yang menyeret nama ZEM di mana PPATK menemukan adanya 137 transfer valuta asing, kasus L/C fiktif yang dilakukan oleh inisiator panitia angket MIS.

Bagaimana hukum bisa tegakkan di negeri ini jika wakil rakyatnya saja tidak mau menghormati hukum, seharusnya wakil rakyat menjadi panutan di negeri ini, jangan mengkambing hitamkan hukum demi sebuah pencitraan yang akhirnya menyakiti hati rakyat.

Anggota Komisi III DPR AD yang merupakan suami dari NN tersangka dalam kasus suap pemilihan Deputi Gubernur Senior (DGS) BI, Seperti yang diketahui bahwa nama NN terus disebut-sebut oleh banyak pihak.

NN dianggap saksi kunci dari adanya kucuran dana yang mengalir ke DPR. NN tidak pernah menghadiri sidang di Pengadilan Tipikor. Akankah AD terus menerus membela istri nya dengan mengatakan bahwa istrinya mengalami sebuah penyakit lupa ingatan.

Selama ini DPR hanya bekerja untuk kepentingan partai politik semata tanpa memeperdulikan rakyat, tidak mengherankan pada akhirnya wakil rakyat di Negeri ini harus menginap di dalam hotel prodeo.

Tidak mengherankan pula banyak dari mereka yang memiliki kemampuan di negeri ini harus di singkirkan oleh wakil rakyat dinegeri ini, seperti Alm Gus Dur yang katanya terlibat kasus Bulog Gate yang sampai saat ini kasusnya tidak pernah terbukti dan yang mengherankan justru mereka yang tadinya memvonis alm justru mengusulkan agar nama beliau di rehabilitasi.

Belum lagi BJ. Habiebie yang di soraki dan di sindir ketika membacakan laporan pertanggung jawaban, padahal BJ. Habiebie merupakan seorang tokoh dirgantara yang terkenal di dunia kedirgantaraan, kepandainya di buktikan dengan hasil ciptannya.

Hukum Sebagai Panglima

Kesalahan dari demokratisasi di era reformasi saat ini adalah terbukanya kran kebebasan menyatakan pendapat serta campur tangan kepentingan politik atas hukum. Siapapun berhak mengeluarkan pendapat tanpa adanya batasan yang jelas.

Elit politik cenderung mengatas namakan rakyat dalam mengeluarkan pendapat, pendapat tersebut hanya melahirkan kesengsaraan bagi rakyat.

Demokrasi bukanlah satu-satunya jalan keluar dalam mengatasi krisis yang terjadi, demokrasi reformasi harus diimbangi dengan meletakan hukum sebagai panglima, bukan menjadikan hukum dari bagian kepentingan politik.

Penegakan anti korupsi dan berbagai persoalan di Indonesia akan berhasil jika hukum benar-benar menjadi panglima bukan sebagai alat untuk saling menjatuhkan atau bagian dari alat kekuasaan.

Menjadikan hukum sebagai panglima di dalam sistem kenegaraan di Indonesia sesuai dengan harapan sejak era reformasi bergulir yang menyangkut kepentingan rakyat, salah satu pilar demokrasi adalah prinsip trias politica yang membagi ketiga kekuasaan politik negara (eksekuti, legislative, yudikatif) untuk diwujudkan dalam tiga jenis lembaga negara yang saling lepas (indefenden) dan berada dalam peringkat yang sejajar satu sama lain.

Kesejajaran dan independensi ketiga jenis lembaga negara ini diperlukan agar ketiga lembaga negara ini bisa saling mengawasi dan saling mengontrol berdasarkan prinsip checks and balances. Kepentingan politik harus dipisahkan dari kekuatan hukum. Hukum harus mampu dijadikan patokan dasar dalam penyelengaraan negara.

Menurut Aristoteles, suatu negara yang baik ialah negara yang diperintah dengan konstitusi dan berkedaulatan hukum. Aturan yang konstitusional dalam negara berkaitan secara erat juga dengan pertanyaan kembali apakah lebih baik diatur oleh manusia atau hukum terbaik, selama suatu pemerintahan menurut hukum.

Oleh sebab itu supremasi hukum sebagai tanda negara yang baik dan bukan semata-mata sebagai keperluan yang tak layak. Bagi dirinya yang memerintah dalam negara bukanlah manusia melainkan pikiran yang adil, dan kesusilaanlah yang menentukan baik buruknya suatu hukum.

Manusia perlu dididik menjadi warga yang baik, yang bersusila, yang akhirnya akan menjelmakan manusia yang bersikap adil.

Apabila keadaan semacam ini telah terwujud, maka terciptalah suatu “negara hukum”, karena tujuan negara adalah kesempurnaan warganya yang berdasarkan atas keadilan.

Jadi, keadilanlah yang memerintah dalam kehidupan bernegara. Agar manusia yang bersikap adil itu dapat terjelma dalam kehidupan bernegara, maka manusia harus didik menjadi warga yang baik dan bersusila.

Diantara bentuk-bentuk negara yang dikemukakannya politea merupakan bentuk pemerintahan yang paling realistis dan praktis baginya. Dalam politea, hukum haruslah menjadi sumber kekuasaan bagi para penguasa agar pemerintahan para penguasa itu terarah untuk kepentingan, kebaikan, dan kesejahteraan umum.

Untuk mewujudkan penegakan hukum dinegeri ini diperlukan kesadaran dari elit politik untuk tidak mencampuri hukum dan mengarahkan hukum keranah politik. Hukum harus dipisahkan dari kepentingan politik.

Secara pribadi saya menilai jika pada masa Orde Baru penguasa menggunakan hukum untuk melegalkan kekuasaan maka saat ini para politisi menjadikan hukum bagian dari kepentingan politik yang pada akhirnya hanya melahirkan kesengsaraan bagi masyarakat.

Tidak ada komentar:

Entri Populer